MAKALAH AGAMA
KEADILAN PARA SAHABAT TABI’IN DAN TABI’UT
TABI’IN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber pokok
penetapan hukum dalam Islam. Hadits Nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam , adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.
Hadits dapat disebut juga dengan Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber
atau didasarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, atau
taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan
hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Pada zaman sahabat, hadits - hadits Nabi
disampaikan dari mulut ke mulut. Pada masa itu mereka belum terdorong
membukukannya dan kekuatan hafalan sahabat pun telah diakui sejarah. Pada masa
setelah sahabat adalah para tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang penyampaikan hadits-
hadits nabi dan mereka mulai membukukan hadits – hadits agar tidak hilang dari
perubahan zaman.
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in
dalam meriwayatkan hadits sangat adil dan tidak ada pertentangan diantara
meraka pada masa hidup meraka. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas
tentang keadilan para sahabat , tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam meriwayatkan
dan mengajarkan hadits pada orang islam.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas maka pemakalah
dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in?
2. Bagaimana
cara mengetahui atau menetapkan sahabat?
3. Bagaimana
keadilan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in?
C.
Tujuan
Tujuan
makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa keadilan para sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in dalam mengajarkan ajaran islam berpedoman pada alqur’an dan
hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Sebelum kita masuk dalam pembahasan materi
kita . kita harus mengetahui apa itu sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in .
sehingga semua mengerti dan jelas dalam membuat sebuah makalah sehingga pembaca
mengerti apa maksud dari Makalah yang kami buat .
1.
Pengertian
Sahabat
Kata sahabat menurut
lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para
ulama yang disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi SAW
dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang
yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah
dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi
tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah
Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah
ia beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di Madinah, Nabi
telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh
al-Hafidl, bahwa pendapat yang paling shahih yang telah diketemukannya bahwa
arti sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan dia beriman
dan meninggal dalam islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi atau tidak, baik
dia turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi
meskipun tidak dalam satu majelis dengan Nabi, atau dia tidak dapat melihat
Nabi karena buta.
Menurut Usman ibnu
Shalih, yang dikatakan sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi, walaupun
dia tidak dapat melihat Nabi dan ia memeluk Islam semasa Nabi masih hidup.
Sebagian 'ulama Ushul
berpendapat bahwa yang dimaksud sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasul
dan lama pula persahabatannya dengan beliau walaupun tidak meriwayatkan hadits
dari beliau.
Menurut al-Khudlari
menerangkan dalam Ushul Fiqhnya: "tidak dipandang seseorang,
menjadi sahabat, melainkan orang yang berkediaman bersama Nabi satu tahun atau
dua tahun". Tetapi an-Nawawi membantah faham ini dengan alasan
kalau yang dmaksud sahabi yaitu orang yang menyertai Nabi satu atau dua tahun,
tentulah tidak boleh kita katakan Jarir al-Bajali seorang sahabat.
Menurut bahasa, sahabat (jama’
dari shahib) berarti yang menyertai atau yang menemani Sedangkan menurut
istilah, ulama’ berbeda pendapat.
1.
Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa sahabat ialah :
من لقي رسول الله ص
م ملا قة عرفية في حل الحياة حل كونه مسلما ومؤمنا به
“Orang yang bertemu Rasulullah saw dengan
pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup, dalam keadaan Islam
dan beriman.”
2. Ibnu Hajar dalam kitab Al
Ishabah jilid 1 : 4-5 menerangkan bahwa sahabat ialah orang Islam yang
bertemu dengan Nabi saw dan mati dalam memeluk Islam.
3. Al Jahidl berpendapat bahwa
sahabat ialah orang Islam yang berjumpa dengan Nabi, lama persahabatannya
dengan Nabi dan meriwayatkan hadis dari beliau.
Adapun pengertian sahabat secara umum yang
telah didefinisikan oleh para ulama’, yaitu :
“Sahabat adalah orang yang pernah
bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam”.
2.
Pengertian
Tabi’in
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata
tabi’ yang artinya pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah
bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam.
Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan
adanya persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in
tidak cukup hanya pernah melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat
cukup pernah melihat Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan dan
kebesaran dari melihat Nabi saw. Namun menurut kebanyakan ahli hadis, yang
dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman
dan meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat
dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari sahabat.
3.
Pengertian
Tabi'ut tabi'in
Tabi'ut tabi'in atau Atbaut
Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين) adalah generasi setelah
Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman
sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut tabi'in adalah di antara tiga kurun
generasi terbaik dalam sejarah Islam, setelah Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut
tabi'in disebut juga murid Tabi'in. Menurut banyak literatur Hadits :
Tab'ut Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada
Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis bahwa
Tabi'in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya. Karena Tabi'in
yang terahir wafat sekitar 110-120 Hijriah
Cara untuk mengetahui bahwa seseorang itu
adalah sahabat, ialah dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Adanya
khabar Mutawatir yang menyatakan bahwa orang itu adalah sahabat. Contoh :
Khulafa’ur Rasyidin
2.
Adanya
khabar yang masyhur tetapi belum pada tingkat mutawatir yang menyatakan bahwa
orang itu adalah sahabat. Contoh : Dlammah ibn Tsa’labah dan Ukasyah ibn Nisham
3.
Diberitakan
atau diakui oleh sahabat yang terkenal kesahabatannya. Contoh :Hamamah ibn Abi
Hamamah Ad-Dausi yang diakui kesahabatannya oleh Abu Musa Al-Asy’ari
4.
Adanya
keterangan dari Tabi’in yang tsiqah (kepercayaan) bahwa orang itu Sahabat
5.
Pengakuan
sendiri dari orang yang adil (Islam, baligh, berakal, tidak mengerjakan
dosa-dosa kecil apalagi dosa besar yang dapat menodai agama dan sopan santun,
serta sejahtera dari sesuatu yang dapat mengurangkan kesempurnaan dirinya)
bahwa dirinya adalah seorang sahabat. Pengakuan dinyatakan sebelum seratus
tahun kewafatan Rasulullah. Apabila pengakuan tersebut dilakukan setelah
seratus tahun kewafatan Nabi saw, maka pengakuannya itu tidak diterima.
Menurut Jumhur Ulama’, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil. Adapun yang dimaksud adil disini adalah adanya
konsekuensi para sahabat secara kontiniu dalam menegakkan nilai-nilai agama,
senantiasa ber amar ma’ruf serta tidak berbohong kepada Rasulullah Saw.
.Imam Al-Khatib al-Bagdadi, dalam kitab Kifayahnya
mengatakan bahwa tidak
perlu dipersoalkan lagi mengenai keadilan para sahabat, karena keadilan sahabat
sudah ditetapkan keadilannya oleh Allah Swt., dalam ayat- ayat Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Dan perintah ini dari Al Quran dan Hadits tersebut langsung tertuju
kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu.
Imam Al- Nawawi menyatakan
pendapat jumhur itu telah menjadi ijma’, oleh karena itu tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereka (
para sahabat ), karena dikhawatirkan akan menyimpang dari al-Qur’an dan
al-Sunnah yang telah menegaskan keadilan mereka. Sebab mereka memiliki peran yang sangat
besar dalam menegakkan dan membela agama, membela Rasulullah Saw, menyerahkan
jiwa dan hartanya, bersikap sesuai dengan tatanan-tatanan-Nya dan sangat ketat
dalam melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan-Nya.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah
di maklumi berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah
juga memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab
penta’dilan dari Allah lebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha
Mengetahui terhadap yang ghaib. Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn
Salah, ia menjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak dipertanyakan lagi.
Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka
semua adalah adil.
Ibnu Atsir dalam kitab Al-
I’tiab berkata, “walaupun para sahabat, tidak perlu kita bahas keadaan
mereka karena telah disepakati oleh Ahl al Haaq yaitu Ahl as-Sunnah
wa al Jama’ah bahwa mereka itu adil, namun wajib kita mengetahui nama-nama
mereka dan membahas perjalanan hidup mereka, serta keadaan mereka untuk kita
teladani, karena merekalah orang yang paling mengetahui
tentang suluk Nabi SAW dan keadaan kehidupan beliau.”
Dalil
Keadilan Sahabat Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Allah Telah Menta’dil (
memberikan penilaian adil ) kepada para sehabat nabi SAW dengan firman – firmannya di dalam kitab
suci Al Quran, maka tidak diperlukan lagi ucapan – ucapan dari manusia – manusia Jahil yang meragukan dan membantahnya. Dan
ini adalah dalil – dalilnya :
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أ…َثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ
شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad
itu adalah utusan Allah, dan orang - orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang - orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda - tanda mereka, tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat - sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam - penanamnya,
karena Allah menjengkelkan hati orang - orang kafir (dengan kekuatan orang - orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang - orang yang beriman
dan mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(100) [التوبة/100]
“Orang - orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama - lamanya. Mereka
kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...( البقرة 143)
“Dan
demikianlah (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al- Baqarah:143)
Perhatikan Sabda Nabi SAW dibawah ini
:
صحيح
مسلم - (ج 12 / ص 352)
فَقَالَ
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ
مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا
يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى
أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
Lalu Rasulullah SAW bersabda:
‘Bintang-bintang ini merupakan amanah ( penjaga, tanda keamanan ) bagi langit.
Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit akan tertimpa apa yang
telah dijanjikan. Aku adalah amanah ( penjaga, tanda keamanan ) para sahabatku.
Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka para sahabatku, akan tertimpa apa yang
telah dijanjikan. Para sahabatku adalah amanah ( penjaga,
tanda keamanan ) umatku. Apabila para sahabatku telah tiada, maka umatku pasti
akan tertimpa apa yang telah dijanjikan kepada mereka”.[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2531.
Diriwayatkan pula oleh Ahmad 4/398-399].
صحيح
البخاري – (ج 12 / ص 5)
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلَا نَصِيفَهُ
Rasulullah
saw. bersabda, “Janganlah
kalian mencaci para sahabatku. Demi Zat yang jiwaku ada
dalam genggaman-Nya, seandainya seorang dari kalian menginfakkan emas seberat
Gunung Uhud, maka belum bisa menyamai satu mud atau separuhnya yang diinfakkan
oleh seorang dari mereka.” (HR Bukhari dalam Shahih-nya
(3/1343) (3470), dan Muslim dalam Shahih-nya (4/1967) (2540))
Adapun Tabi’in mereka adalah murid dan
pengikut setia para Sahabat. Demikian juga Tabi’ut-Tabi’in dalam mengikuti
Tabi’in.
قال ابن قيّم الجوزية : إنّ الفتوى بالأثار
السّلفية والفتاوى الصحابيّة أولي بالأخذ بها من أراء المتأخّرين وفتويهم، وإن
قربها إلي الصّواب بحسب قرب أهلها من عصر الرسول صلوات الله وسلامه عليه وعلي أله،
وإنّ فتاوى الصّحابة أولي أن يؤخذبها من فتاوى التابعين، وفتاوى التابعين أولي من
فتاوى تابعى التابعين...
Ibnul Qoyyim berkata: Sesungguhnya
fatwa dari atsar as-Salafus Salih
dan fatwa-fatwa sahabat lebih utama untuk
di ambil dari pada pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa
mutaakhirin (orang belakang). Karena dekatnya fatwa terhadap kebenaran sangat
terkait dengan kedekatan pelakunya dengan
masa Rasulullah Saw. maka fatwa-fatwa sahabat lebih
didahulukan untuk di ambil dari fatwa-fatwa tabi'in dan
fatwa-fatwa tabi'in lebih di dahulukan dari fatwa-fatwa
tabiut-tabiin.
قال ابن رجب : فأفضل العلوم في تفسير القرآن
ومعاني الحديث والكلام في الحلال والحرام ما كان مأثورا عن الصحابة والتابعين
وتابعيهم وأن ينتهي إلي أئمة الإسلام المشهورين المقتدى بهم.
Ibnu Rajab berkata : Seutama-utama ilmu
adalah dalam penafsiran al-Qur’an dan makna-makna hadits serta
dalam pembahasan halal dan haram yang
ma'tsur dari para sahabat, tabi'in dan tabiut-tabi'in
yang berakhir pada Aimmah terkenal dan diikuti .
Adapun dalil tentang sahabat , tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in sebagai berikut:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {100} التوبة
artinya : Dan as-Sabiqunal awwalun dari
orang – orang Muhajirin dan orang - orang Anshar dan orang - orang
yang mengikuti mereka dengan ihsan,
Allah ridha kepada mereka dan mereka
ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka jannah
yang mengalir di bawahnya
sungai – sungai,
mereka kekal di dalamnya .
Itulah keberuntungan yang besar. ( at
Taubah 100 ).
خيرالناس قرني ثم
الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يجيئ اقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه ويمينه شها
دته {البخاري و مسلم}
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku,
kemudian generasi setelah mereka kemudian generasi setelah mereka, Kemudian datang
suatu kaum yang kesaksiannya mendahului sumpahnya. Dan sumpahnya mendahului
kesaksiannya”. (Bukhari/Muslim)
Maksud قرني adalah
generasi Sahabat ra. danالذين
يلونهم yang pertama
adalah Tabi’in sedangkan الذين يلونهم yang
kedua adalah generasi Tabi’ut-Tabi’in.
عن عبد الله بن بسر
قال: قال رسول الله : طوبى لمن رآني وطوبى لمن رأى من رآنى طوبى لهم وحسن مآب
{رواه الطبراني} وفي رواية الحاكم : طوبى لمن رآني وطوبى لمن رأى من رآني وطوبى
لمن رأي من رأي من رآني.
“Dari Abdullah bin Busr radliyallahu ‘anhu Rasulullah
saw bersabda : Keberuntungan bagi orang-orang yang melihatku, keberuntungan
bagi orang yang bertemu dengan orang yang melihatku. Bagi mereka keberuntungan
dan tempat kembali yang baik” .
Sedangkan dalam riwayat Hakim
; Keberuntungan bagi orang melihatku, keberuntungan bagi orang yang
bertemu dengan yang melihatku, keberuntungan bagi orang yang bertemu dengan
orang yang bertemu dengan yang melihatku.
BAB III
PENUTUP
Kata sahabat menurut lughah jamak
dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para ulama yang
disebut "sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam
keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang yang
bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang
sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak
menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi
wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah ia
beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di Madinah, Nabi
telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Tabi'I menurut bahasa yaitu
pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in" menurut istilah
adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi saw serta
meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.
Tabi'ut tabi'in atau Atbaut
Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين) adalah generasi setelah
Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in, adalah orang Islam teman
sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi.
Keadilan
para sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah sangat jelas di dalam alqur’an
dan hadits bahwa merekalah pembawa ajaran agama islam setelah nabi Muhammad saw
wafat, ada hadits yang mengatakan yang artinya sebagai berikut:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku,
kemudian generasi setelah mereka kemudian generasi setelah mereka, Kemudian
datang suatu kaum yang kesaksiannya mendahului sumpahnya. Dan sumpahnya
mendahului kesaksiannya”. (Bukhari/Muslim)
DAFTAR
PUSTAKA
Bisri Musthafa,
, al-Azwadu al-Musthafwiyah, Kudus: Menara Kudus, 1375 H hal.
23-24
Ash-Shiddiqiy,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, cet ke 6 Yogyakarta:
Bulan Bintang, 1980, hal. 315-318
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis,
(Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 29
Mahmud Aziz & Mahmud Yunus, Ilmu
Musthalahah Hadis, (Jakarta : Jayamurni, 1974), Hlm. 81
Badri Khaeruman, Otentitas Hadis (Studi
Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer), (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2004), Hlm. 84
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul
Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), Hlm. 230
Ibid., Hlm. 231
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis,
(Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 31
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang,Pustaka Rizki Putra,
2002), Hlm. 209
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul
Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), Hlm. 166
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu
Hadis, (Bandung : Angkasa, 1987), Hlm. 35
M. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadis
Nabi di EraTeknologi Informasi, (Semarang: Rasail Media Group,
2010), Hlm. 55
I'lamul Muwaqi'in IV/118
Fadlu ilmi salaf . Ibnu Rajab al-Hanbali. 58
Terimakasih, sangat bermanfaat.
BalasHapus